Tag

Author : Bee

Cast : Paprika, Eunhyuk

Rating : AAbK

Genre : Romance

url: http://wp.me/p1rQNR-bD

 

>>>

 

Shit! Setengah enam! Paprika buru-buru melonjak dari kasurnya dan bergegas ke kamar mandi. Menyesal karena tidak sahur bisa dilakukan nanti. Sekarang, jangan sampai dia tambah menyesal karena tidak sholat subuh.

Di luar kamar wajah Paprika mengeras. Kamarnya yang menghadap ke meja makan membuatnya mudah terlihat oleh orang rumah kalau mereka sedang melakukan apapun di sana. Sayangnya, meja makan itu ada di ruang tivi, di depan dapur, di sebelah kanan kamar mandi, di sebelah kiri kamar-kamar kakak dan kamar mama-papanya. Hanya ruang tamu yang tidak memiliki akses pandangan langsung ke meja makan. Singkatnya sih, meja makan itu pusat rumahnya yang bertipe 45 dan dipenuhi perabotan.

Sebagai tambahan, di sana, Mama Paprika sedang menyetrika di atas meja yang ditarik merapat ke dinding—aktivitas rutin di pagi hari bulan puasa, menyeterika pagi hari agar tidak kepanasan. Sang mama yang melihat anaknya yang tampak seperti maling tertangkap basah hanya memandang lurus-lurus dan mencela.

Buru-buru Paprika kabur ke kamar mandi, mengambil air wudlu dan dengan sama-sama buru-burunya dia berlari ke kamar, menunaikan ibadah sholatnya. Sesudah salam, keningnya berkerut melihat bias cahaya matahari yang terlihat dari balik tirai, lalu segera menengadahkan tangan, memohon ampun karena terlambat memenuhi panggilan Tuhannya.

Pukul tujuh, Paprika sudah siap dengan pakaian kerjanya yang sederhana, kaos polo berkerah dengan celana jeans. Sambil mendesah, dia mengucapkan salam di depan rumah dan membiarkan matahari pagi yang sudah lebih hangat menyirami wajahnya. Pabrik seharusnya ramai hari ini, karena hari ini tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Paprika menghitung hari dan memutuskan mengambil rute yang berbeda dari hari kemarin karena berdasarkan pengalaman, rute berangkat kerjanya hari kemarin akan macet di Jum’at pagi seperti ini.

Duduk di pojokan angkot, Paprika meremas-remas jemarinya, merasakan perih melilit di perutnya. Kekesalannya terhadap pengendara motor yang pecicilan di jalanan masih ditambahi dengan kondisi perut kosong yang merusak suasana akibat tidak makan sahur dan meminum obat maag sebelum waktu imsak. Mamanya selalu memberinya omelan tentang bagaimana suasana puasa di rumahnya sendiri kalau dia sudah menikah. Papanya menebak pasti rumah tangga Paprika dan suami dan anak-anaknya kelak akan selalu dihiasi oleh cerita-cerita telat sahur, karena wanita yang seharusnya menjadi jam weker di rumah itu—maksudnya adalah Paprika—tidak pernah puasa penuh tanpa telat sahur bahkan saat masih tinggal dengan orang tuanya yang masih peduli untuk membangunkan.

Kenapa dia harus tidur seperti orang mati? Paprika mengeluh dalam hati. Dari luar jendela belakang angkot, seorang pengendara motor pria yang sejak tadi memperhatikan Paprika karena tertarik padanya segera memberi tanda hendak menyalip karena melihat raut Paprika yang tiba-tiba berubah galak bercampur masam, sebagai campuran kekesalan dan kesakitan.

Paprika tentu saja tidak menyadarinya. Dia terus mengubah-ubah ekspresinya, meski itu tidak mengurangi kesakitannya.

Di pabrik Paprika memilih menghemat senyumnya. Semua buruh sudah datang, tapi tidak berarti juga Paprika terlambat. Dengan segera dia menempatkan diri di mejanya sebagai staf junior Departemen HRD. Seingatnya hari ini tidak ada tugas khusus, hanya tugas-tugas rutin yang biasa dikerjakannya setiap hari. Sebuah kertas memo putih tertempel di monitor komputernya. Dia menjilat bibirnya membaca pengumuman rapat pukul 9 nanti. Selamat tinggal pekerjaan rutin.

Staf HRD yang lain bermunculan dan menyapa Paprika yang selama setahun ini memang selalu jadi yang paling cepat datang. Tidak ada satupun orang di kantornya yang tahu bahwa Paprika terkenal sebagai ratu lelet di rumahnya. Paprika berjuang keras untuk itu. Dia tidak mau lagi julukan Ratu Telat yang selalu menempel padanya selama SD, SMP, SMA dan masa kuliah dianugerahkan padanya. Sekarang ini tubuhnya sudah terbiasa bangun pagi meski dengan kekacauan.

Seorang pegawai pabrik tiba-tiba masuk dan menghampirinya. Paprika menghadapinya dengan sikap dan raut dingin. Pegawai pabrik tempatnya bekerja ini selalu sama. Mereka mengagung-agungkan ekspresi memelas ketika memasuki kantor HRD, agar dikasihani, atau diberi maaf saat melakukan kesalahan, tapi kalau permintaannya ditolak, mereka akan mulai berkeras dan bahkan beberapa orang dengan bengalnya mengancam staf yang diajak berurusan. Satu bulan adalah semua yang diperlukan Paprika untuk belajar bersikap seangkuh staf HRD lainnya agar tidak disembronoi oleh para buruh tersebut.

Pegawai itu ternyata meminta libur lebaran tiga hari lebih dini dari jadwal yang seharusnya. Paprika dengan halus namun tegas mengatakan tidak. Tangannya mengutak-atik keyboard tanpa melihat, berusaha mencari data diri dan statistik absensi sang buruh. Setelah hasilnya muncul, Paprika lega dia mengatakan tidak. Buruh yang satu ini ternyata sudah banyak kali membolos dalam setahun. Dia termasuk buruh senior, sudah bekerja di pabrik itu selama tiga tahun, waktu yang cukup lama dibandingkan mereka yang keluar-masuk seenaknya dalam rata-rata waktu kerja tiga bulan saja.

Meski senior, kelakuannya tidak bisa dibilang berprestasi. Kas bonnya di bendahara masih ada yang belum dibayar, hobinya membolos, dan sering memalsukan surat sakit saat permintaan cutinya tidak diiyakan oleh perusahaan. Tak heran dia tak pernah naik gaji. Tapi Paprika mengakui orang itu cukup lihai agar tidak dipecat. Semua pelanggarannya hanya di batas maksimum yang diperkenankan dan selain itu dia pintar melobi—atau berbohong mengarang alasan dan pembelaan diri—sehingga keputusan pemecatannya seringkali tidak jadi dilakukan.

Si buruh mulai merepetkan alasannya. Ada keponakannya hendak menikah lah, ibu si keponakan sakit lah, anaknya pulang kampung lebih cepat lah, menemani di rumah sakit lah, menjaga kios beras di pasar lah… Bagaimana mungkin mengurus pernikahan, merawat orang sakit, menjamu anak, menunggui di rumah sakit, dan berjualan bisa dilakukan bersamaan? Paprika hanya menggelengkan kepalanya menolak ijin cuti si buruh.

Si buruh merapatkan bibirnya dan mulai menaikkan nada bicaranya. Mengatakan Paprika tidak mengerti karena belum menikah, mengungkit-ungkit waktu kerjanya yang sudah tiga tahun sementara Paprika baru satu tahun, mencela dinginnya perasaan Paprika, sampai menuduhnya bukan Islam berdasarkan kaos polo ketat, celana jeans model pensil dan sepatu stilletonya.

Perut Paprika melilit makin perih.

Rekannya sesama staf HRD menghampiri mejanya untuk pergi bersama ke ruang rapat. Itu menyelamatkan puasanya hari itu karena tidak jadi meledak marah di pagi hari. Dia menyuruh sang buruh untuk datang setelah Sholat Jum’at yang dituruti oleh lelaki empat puluh tahunan itu sambil menggerutu dan ngeloyor pergi.

Paprika mengemasi peralatannya dan melangkah menuju ruang rapat. Di sana sudah banyak orang dan dia mendapat sisa tempat duduk di sebelah Kepala Divisi Tenaga Kerja yang orangnya sangat bersemangat. Bersemangat mencela orang dan bersemangat memberitahu semua orang apa yang tidak diketahuinya—kata lainnya adalah, sok tahu. Paprika menyesal mengapa tadi dia melewatkan tisu. Harusnya dia membawanya karena lelaki di sebelahnya hobi menjadi pompa liur selama rapat. Paprika mungkin belum punya esensi apa-apa bagi manajemen atas pabrik, tapi tentu saja dia tidak mau jika keberadaannya dijadikan ember penampung bagi semprotan ludah lelaki itu.

Jum’at tidak pernah semenakjubkan itu bagi Paprika… Dalam dua jam, pandangan matanya berkabut karena derasnya hujan liur serta peralatan tulisnya sudah diputuskannya untuk langsung masuk tong sampah begitu keluar dari sana. Paprika menoleh putus asa ke arah lain dan hampir meledak jengkel saat teman satu ruangannya nyengir kambing ke arahnya. Mengejek, menertawai, secara berjamaah. Sempurna.

Waktu Sholat Jum’at, Paprika memilih mendekam di mejanya, tidak pergi sholat ke musholla bersama rekan-rekan wanitanya. Dia menghindari berkomunikasi dengan orang lain. Pengalamannya sejak tadi pagi sudah menjadi bukti yang cukup otentik bahwa keberuntungannya kurang baik hari ini kalau bicara tentang komunikasi antarmanusia, apapun arti otentik itu—dia Sarjana Ekonomi, bukan Sarjana Hukum, apalagi lulus dari akademi kepolisian.

Perutnya sudah tidak lagi melilit, tapi sekarang Paprika merasa mual. Dia tidak ingin putus puasa. Ini sudah setengah hari. Dan dia bukanlah anak SD. Akhirnya mengabaikan komputernya yang menyala, Paprika menelungkup di atas meja. Masih jam setengah satu, mungkin dia bisa tidur selama setengah jam dan melupakan dunia nyata sejenak. Kalau saja bukan bulan suci, Paprika sudah akan membayangkan dipeluk, dibelai-belai dan dicium mesra oleh Eunhyuk Super Junior, membiarkan keyadongan pria itu membimbing pemikiran mesumnya sendiri.

Paprika tersentak kaget saat sesuatu tiba-tiba dilemparkan ke atas mejanya. Kepala Divisi Keuangan, bukan orang Islam, jadi wajar kalau masih ada di kantor dan bukannya pergi Jum’atan. Lelaki itu melotot ke arahnya dan Paprika merasakan kecemasan membalap rasa mualnya. Benar saja, alih-alih tidur, jam istirahat itu dihabiskan Paprika mendengarkan kemarahan lelaki itu akibat laporan salah satu staf HRD yang menurutnya ‘menyesatkan’. Bukan Paprika yang mengerjakan laporan itu, tapi dia tahu, lelaki itu juga tidak akan peduli seandainya dia mengatakannya. Jadi Paprika hanya menunduk di kursinya, membiarkan telinganya meradang.

Kucuran air keran yang membasuh tangannya dalam sekejap mendinginkan hati Paprika. Setelah marah-marah hampir selama satu jam, Kepala Divisi Keuangan akhirnya kecapekan dan memutuskan bertanya pada Paprika siapa yang mengerjakan laporan itu. Paprika melihat sampul laporan dan menyebutkan salah satu rekan kerjanya yang belum juga masuk ke ruangan kerja meski waktu sholat Jum’at harusnya sudah lama berlalu. Setelah itu lelaki itu melunakkan suaranya dan membiarkan Paprika pergi.

Memasuki musholla Paprika memejamkan matanya sejenak. Dia tidak pernah menyukai musholla ini. Bibi tukang bebersih selalu melewatkan karpet alasnya untuk sekedar dijemur, jadi tempat yang memang aslinya sudah pengap ini tambah bau. Untung Paprika tidak pernah meninggalkan mukena praktisnya kalau dia pergi-pergi, jadi dia tidak harus mengenakan mukena musholla yang bisa membuat rahangnya gatal. Menelan ludah untuk menekan mual akibat bau, Paprika memaksakan dirinya masuk dan beribadah. Memaksakan dirinya untuk khusyuk.

Susah. Bahkan saat dia hanya harus berdoa seusai sholat untuk memohon pengampunan karena memilih sholat di akhir waktu—lagi, dia melakukannya dengan terburu-buru. Dia tidak tahan. Segera saja Paprika keluar dari musholla, memutuskan melipat mukenanya di luar ruangan itu.

Pukul dua kurang. Paprika mengingat apa yang harus dilakukannya, dan memutuskan bahwa tidak ada hal yang harus diselesaikannya segera. Jadi dia pergi ke arah atap dengan niat untuk menghirup udara berangin di sana. Bukan udara segar, namanya saja di lingkungan pabrik, tapi sekedar udara bergerak. Dia berharap udara itu bisa membawa pergi kesialannya hari ini.

Sedang berjalan, seseorang memanggil Paprika dan gadis itu merutuk pelan. Si buruh yang tadi pagi. Sekarang dia ingat dia harus menangani keluhan si buruh. Paprika kembali ke kantornya diikuti oleh si buruh.

Di sana, permintaan si buruh dengan cepat berubah menjadi ancaman. Paprika tidak ikut marah, hanya meladeni bapak itu dengan dingin. Bukan apa-apa, energinya sudah habis. Memang benar, sepuluh hari ketiga di bulan Ramadhan itu adalah masa-masa terberat bagi orang yang berpuasa.

Setengah hati Paprika mendengarkan omelan, ancaman, bahkan kadang bentakan si buruh itu. Paprika tahu, dengan penampilannya, usianya, dan jam kerjanya, percuma saja dia mencoba meningkatkan harga dirinya sebagai staf yang kedudukannya lebih tinggi dari orang itu. Selain dari raut wajahnya yang mencirikan orang keras kepala yang seenaknya, Paprika tahu, semarah apapun si buruh padanya, nasib orang itu ada di tangannya. Paprika sudah mengatakan tidak sejak awal, dan dia akan mengatakannya lagi di akhir nanti, sebagai penutup omelan si bapak.

Sambil memandangi orang yang sedang emosi itu, pikiran Paprika melayang kemana-mana. Dia menginginkan Eunhyuk. Ada di sini, sekarang, memberinya senyum bergusi, melucu untuknya. Lalu si bapak agak menggebrak meja, mengejutkan Paprika. Dia memperingatkan si bapak dengan pandangannya, bahwa kalau orang itu hendak bertindak anarkis, Paprika akan memanggil petugas keamanan. Orang itu tampaknya mengerti dan dia duduk kembali di kursinya, jauh-jauh dari meja Paprika. Dia mendengarkan lagi permohonan si bapak, dan mengeluh kenapa Eunhyuk harus tidak di sini? Kenapa Eunhyuk harus tidak mengenal seorang Paprika?

Setelah fase kekeraskepalaan yang berlangsung selama beberapa menit—hal itu dikecilkan karena sebenarnya Paprika harus bersabar lebih dari tiga puluh menit sebelum si buruh kecapekan dan menyadari pekerjaannya semakin berada di ambang bahaya dengan semakin banyak kata-kata yang dikeluarkannya—akhirnya Paprika terbebas dari bapak itu dengan satu kalimat sederhana yang menyatakan satu fase tegas, take it or leave it (the job). Paprika senang bapak itu memilih yang pertama.

Selanjutnya sore itu, selain memotong waktunya untuk sholat ashar, Paprika melewati sorenya dengan tenang dan tersiksa. Wajahnya muram karena laporan dari si Kepala Divisi Keuangan sekarang dialihtugaskan padanya. Menurut si penulis laporan, dia sudah mengerjakan laporan beberapa kali tapi masih disalahkan. Karena Paprika lebih junior, maka dialah yang terkena imbasnya. Padahal, laporan pekerjaan yang didistribusikan saat rapat tadi saja belum selesai. Dua-duanya tugas yang tidak bisa asal dilakukan. Sepertinya Paprika harus lembur malam ini.

Saat Paprika mengangkat wajahnya dari layar komputer, gadis itu terkejut menyadari bahwa waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Dia menoleh ke sekeliling dan mendapati bahwa satu-satunya orang yang masih bertahan di ruangan itu bersamanya sedang bersiap-siap pulang. Orang itu nyengir melihat pandangan Paprika dan wajahnya yang kusut.

Paprika menghela nafas dan menyimpan pekerjaannya. Dia bangun dan mencari kantong kresek di sudut belakang ruangannya. Tidak ada kompromi, dia harus pulang. Dia mau buka di rumah, tidak mau sendirian di kantor. Paprika benci naik angkot malam hari.

Pukul setengah enam Paprika sudah duduk—lagi-lagi—di sudut angkot dengan tas kerja diapit di bawah ketiak kanan dan kantong kresek berisi dokumen pekerjaan ditahan di atas paha oleh tangan kirinya. Dia melepaskan pegangannya dari dokumen itu untuk meraih telepon genggam sederhananya yang berbunyi.

Sms dari mamanya. Mengatakan agar Paprika menolongnya membantu membeli kolak. Gadis itu membalas bahwa dia masih jauh dari rumah. Kalaupun dia sampai di rumah dengan kolak, pasti waktu buka sudah lewat. Mamanya membalas lagi dan berkata tidak apa-apa, sebab mamanya ingin menitip kolak dalam jumlah banyak. Hari ini jadwal rumah mereka menyediakan makanan kecil untuk tadarusan di masjid.

Paprika memandang dokumennya dengan bingung. Tangannya hanya dua. Kolak sejumlah tiga puluh lima gelas bukanlah jumlah yang sedikit untuk dibawa dengan satu tangan sementara tangan lainnya menenteng dokumen. Belum sempat menjawab, datang lagi sms dari mamanya yang mengatakan bahwa saat ini di rumah sedang banyak saudara yang tiba-tiba datang, jadi mamanya tidak sempat menyiapkan apapun.

Menghela nafas Paprika mengiyakan permintaan sang mama. Kalau perlu dia akan pakai taksi ke rumah nanti. Apa boleh buat, kakaknya sedang tugas ke luar kota, jadi hanya dia yang bisa dimintai tolong oleh orang tuanya. Saat angkot melintas di depan pasar dadakan, Paprika berseru minta berhenti.

Pukul enam kurang tujuh menit adalah waktu yang ditunjukkan oleh jam tangan Paprika. Dia mengerahkan segala tenaganya untuk menenteng dua kantong kresek berat. Matanya berkunang-kunang, sementara dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menyerah dan lengah. Saat-saat mendekati maghrib begini adalah saat yang berbahaya, banyak copet selain juga hewan-hewan kecil yang bisa masuk ke dalam mata. Selain itu, orang-orang banyak sekali yang berlalu lalang mencari makanan pembuka. Paprika harus waspada.

Tapi malang tak dapat ditolak, Paprika menabrak sesama pejalan kaki dan bawaannya jatuh ke tanah. Dia ikut terlutut di atas aspal, tapi hatinya lebih cemas kolak-kolaknya pecah. Tanpa mempedulikan dokumen pekerjaannya yang agak berhamburan, Paprika mengecek kolaknya dan merasa lega karena tidak ada yang pecah. Buru-buru Paprika mencari dokumennya dan terkejut saat seseorang menyodorkan kontong dokumen yang berisi tidak sedikit itu. Paprika terkesiap.

Kepala Divisi Keuangan!

Lelaki itu digandeng seorang wanita di sebelahnya, dan Paprika bisa menangkap bahwa hubungan mereka berdua adalah hubungan asmara berdasarkan tatapan si wanita yang tajam ke arahnya. Paprika meminta maaf dan cepat-cepat berlalu dari tempatnya.

Pukul enam tepat, Paprika menelan ludahnya. Apa yang dia lakukan di sini? Di jok belakang sebuah mobil bagus yang pemiliknya sedang dimarahi oleh pacarnya gara-gara berkeras mengantarkan Paprika pulang. Si Kepala Divisi Keuangan memaksa mengantarnya pulang setelah tahu Paprika membawa pulang dokumen-dokumen pekerjaan darinya. Dia agak merasa bersalah karena sudah salah memarahi Paprika sekaligus iba karena gadis itu ternyata adalah orang yang berpuasa, meleset dari dugaannya semula yang mengira Paprika adalah keturunan Tionghoa yang tidak berpuasa—padahal Paprika hanya kebetulan menuruni gen kulit putih mulus, matanya bahkan tidak kecil!

Yang salah dari niat baik Si Kepala Divisi Keuangan adalah dia menebus kesalahannya tepat di depan pacarnya, yang sama-sama tidak puasa seperti lelaki itu dan hanya berniat jalan-jalan berdua. Padahal Paprika sudah menolak tadi, tapi Si Kepala Divisi Keuangan malah meraih kantong kresek dokumennya dan menggiring gadis itu ke dalam mobil, membuat pacarnya terseret-seret di sebelahnya.

Saat ini, Paprika merasa kepalanya pusing karena dua orang di jok depan tidak berhenti bertengkar sementara radio disetel keras-keras. Paprika menyentuh pelipisnya dan terus menggumamkan nama Tuhannya, memohon diberi kesabaran, karena waktu buka hanya tinggal beberapa menit saja.

Ketika suara adzan berkumandang dari radio, Paprika membuka mata dan menelan ludah dengan niat berbuka, karena hanya cairan itu yang dia punya saat ini. Makanya dia sangat terkejut ketika melihat Si Kepala Divisi Keuangan mengulurkan sebotol air mineral yang belum dibuka padanya. Paprika enggan karena dia tidak mau jadi anak buah yang mentang-mentang, tapi sorot mata tulus dan penuh penyesalan di mata pria itu membuat bibir Paprika menyungging senyum lemah. Setelah mengucapkan terima kasih dan berbuka dengan air itu, mereka bertiga kembali dalam kesibukan masing-masing. Paprika mengamati jalan sambil memberi arahan pada yang punya mobil, yang punya mobil menyetir sambil mendengarkan ocehan pacarnya, dan si pacar masih mengoceh sesekali sambil menghela nafas berkali-kali. Momen berbuka yang aneh.

Paprika sampai di rumah dengan selamat—tidak dicakar ataupun dijambak oleh pacar bosnya meskipun tetap dianggap tidak ada oleh wanita itu. Di rumahnya, semua tamu sudah pulang dan mamanya sibuk menggoreng sesuatu di dapur. Papanya menyambutnya dan menyuruhnya berbuka, tidak mengetahui apa yang sempat terjadi padanya selama perjalanan pulang. Paprika hanya menjawab bahwa dia akan berbuka setelah berganti baju.

Waktu berbuka berlalu dengan damai dan cepat. Sebentar saja Paprika sudah harus sholat maghrib lalu membantu sang mama menyiapkan makan malam. Asupan gula dari teh manis yang diminumnya saat menemani papanya berbuka di meja makan tadi telah memberinya sedikit kekuatan, tapi perutnya tetap melilit. Dia butuh sesuatu untuk menetralisir asam lambungnya.

Paprika meneguk obat maagnya dan begitu selesai, adzan Isya’ pun terdengar. Dia menggigit bibir dan memandang kepingin pada jajaran lauk pauk yang dimasak mamanya untuk makan malam, tapi harus mendesah kecewa saat makanan-makanan itu ditutup oleh tutup saji.

Dia beranjak ke kamar mandi, mengambil wudlu, dan membatin, mungkin nanti makanan itu sudah tidak enak lagi karena sudah dingin, mungkin nanti dia sudah terlalu lelah dan ngantuk untuk makan malam, tapi mamanya butuh bantuan mengangkat kolak-kolak itu, dan Paprika tidak ingin catatan Sholat Tarawihnya bolong. Malam itu, Paprika Sholat Tarawih di masjid dengan pandangan kuning.

Sesampainya di rumah—Paprika memaksa pulang dan menolak tadarusan dengan alasan membawa pekerjaan bersamanya—Paprika segera melahap makan malamnya. Dia tidak menunggu papa maupun mamanya karena dia tidak kuat lagi. Perutnya harus diisi dan tenaganya harus dipulihkan.

Setelah makan, Paprika segera ke kamarnya, menyalakan komputer model lama dan bersiap mengetik. Dia menghampiri dokumennya di atas kasur dan duduk di sana, memilah-milah dokumen berdasarkan urutan kegunaannya.

Paprika membuka matanya dan terlonjak kaget. Seingatnya tadi dia sedang memilah-milah dokumen, kenapa dia terlentang di atas kasur begini? Akhirnya dia mengaku pada dirinya sendiri bahwa dia tertidur. Beberapa dokumen tertekan di punggungnya, dan Paprika terkesiap menyadari jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas kurang sedikit.

Paprika menyalakan lagi komputernya yang tadi berada dalam mode stand-by, lalu mulai membuka file baru Microsoft Word. Asal saja ditariknya kertas-kertas dokumen, dan sambil mengumpulkan nyawa, Paprika mengurutkan kembali dokumen-dokumen itu, bersiap mengetik.

Ketika pandangannya terarah ke layar komputer, Paprika tertegun. Perlahan-lahan kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. Ekspresi wajahnya yang tegang seharian ini mengendur dan perlahan melembut.

Screen savernya memberikan senyum Eunhyuk padanya. Bergantian, berbagai pose dari foto-foto pria itu bergerak melintasi layar. Paprika meletakkan dokumennya ke atas paha dan menggunakan jarinya menyentuh layar yang agak cembung di hadapannya. Lelaki itu, lelaki yang jauh di Korea Selatan sana, tersenyum lebar dengan keringat bercucuran dari pelipis. Lalu ada juga posenya yang sedang menari. Kemudian dia bergaya di atas panggung. Dan masih banyak pose lainnya bermunculan.

Meski merasa sayang, Paprika menggoyangkan tetikusnya, menyebabkan animasi gambar-gambar itu menghilang. Dia membuka folder favoritnya dan mengeklik ganda sebuah video di dalam folder itu dengan asal. Salah satu video wawancara Suju M. Eunhyuk yang tergagap saat menjawab pertanyaan, gayanya yang keren saat diminta menunjukkan kebolehannya menari, tawa malunya saat salah mengartikan Bahasa Mandarin, semua menyuntik Paprika dengan suka cita. Cita yg bercampur cinta meski tidak diketahui oleh sosok luar biasa itu.

Mata Paprika yang tadinya terasa perih karena lelah sontak baik-baik saja. Tubuhnya yang tadi meregang lelah, kini terasa segar. Wajah masamnya berubah ceria dan lembut. Pekerjaannya rasanya tidak semenumpuk sebelumnya. Bahkan tawa yang seharian tadi seperti tidak mungkin terlontar, kini terdengar dari mulutnya.

Paprika sangat bahagia. Hanya menonton video Super Junior dengan Eunhyuk di dalamnya, tiba-tiba dunia Paprika menjadi sempurna. Dia menemukan kembali alasannya bekerja keras, dia merasa rasa sayang melonjak-lonjak dalam dirinya. Hanya perlu memandang Eunhyuk, dan semangatnya kembali.

Paprika berharap, Eunhyuk bahagia saat ini karena paling tidak ada satu cinta lagi terkirim untuk lelaki itu malam ini, dari seorang Paprika. “Saranghae, Eunhyuk Oppa…” bisiknya parau.

 

 

KKEUT.