Istimewa

“Fanfiction is what literature might look like if it were reinvented from scratch after a nuclear apocalypse by a band of brilliant pop-culture junkies trapped in a sealed bunker. They don’t do it for money. That’s not what it’s about. The writers write it and put it up online just for the satisfaction. They’re fans, but they’re not silent, couchbound consumers of media. The culture talks to them, and they talk back to the culture in its own language.

 Lev Grossman, TIME, July 18, 2011 –

::

“When you keep thinking, you do nothing. When you start one thing, you got something. That’s the thing.”

Me, October 06, 2012

Ketika Alam Mengenalmu Lebih dari Mas Crush

Tag

Umurku 12 tahun saat pertama kali patah hati.

Aku pulang dari sekolah jalan kaki. Saat itu hujan gerimis, membuat bajuku agak basah. Menghindari jalanan besar, aku menyusuri gang-gang kecil untuk sampai ke rumah. Perhatianku tertuju pada jalan setapak yang berlumut. Kekhawatiran terbesarku adalah jatuh terpeleset dan tidak ada yang menolong. Keberadaan orang yang menjadi saksi kesialanku adalah hal penting. Drama dengan penonton adalah esensi keberadaanku. Jadi karena setapak sepi, jatuh terpeleset dan sakit sendirian bukan pilihan yang kusukai.

Saat berbelok, aku melihatnya. Yang kulihat adalah punggungnya, tapi aku langsung kenal. Begitu tergila-gila aku padanya aku bisa mengenali dia walau jika hanya diperlihatkan ujung rambutnya saja. Mas crush yang umurnya beberapa tahun di atasku. Anak kuliahan yang diminta ibu memberikan les pelajaran untukku. Rumahnya dekat jadi aku biasanya punya banyak alasan untuk main ke rumahnya. Sering kali minta dibantu mengerjakan PR. Setiap kali alasan sebenarnya adalah agar aku bisa menatap wajah gantengnya yang kaya Indomie: seleraku.

Aku pun tersenyum bersemangat. Hujan-hujan, beromantis ria dengan Mas Crush, romantis banget. Menjalani hubungan romantis adalah impian terbesar si aku-umur-12-tahun. Siapa tahu, kan, setelah mengantarku pulang sampai depan rumah, Mas Crush tiba-tiba menyatakan sukanya padaku? Mungkin didahului dengan pura-pura menggandeng tanganku agar tidak terpeleset di setapak nan licin? Atau mungkin setelah melihatku setengah basah, dia jadi terpesona padauk karena tampak dewasa, tidak seperti yang selama ini dia kira bahwa aku masih kecil.

Kehidupan cintaku sepertinya akan bersemi di usia 12 tahun.

Tapi aku melihat Mas Crush seperti gemetar. Kedinginankah?

Aku maju lalu melihatnya. Ada seseorang lagi. Om-om. Sedang bercakap dengan Mas Crush. Aku tak bisa mendengar perkataan mereka, tapi sesuatu mengatakan bahwa mereka tidak bercakap penuh suka cita.

Lalu petir menyambar, suaranya menggelegar, bumi berguncang dan tanah gonjang-ganjing. Kalau tak menjejak kuat-kuat, aku pasti sudah terjatuh.

Om-om itu merangkum wajah Mas Crush, menariknya mendekat ke wajah dia sendiri lalu menciumnya! Aku diberi waktu sangat lama menikmati ciuman itu. Cukup lama sampai aku menyadari bahwa Mas Crush bukan dicium oleh si Om melainkan mereka berdua berciuman. Basah, lama, lapar. Dan di bibir.

Aku bicara kehidupan cinta yang matang, ya. Sebagai remaja perempuan 12 tahun, ciuman bibir adalah stempel bagi percintaan nyata nan membara yang diimpikan jiwa-jiwa romantis yang baru kembang.

Tapi itu Mas Crush-ku! Kenapa dia mencium orang lain? Yang suka kan aku duluan! Siapa om-om itu?! Seenaknya saja mengambil ciuman yang untukku!

Tapi mereka berciuman. Apa artinya mereka pacaran? Lalu aku bakal pacaran sama siapa?

Dan bumi masih tak karuan, meski petir, halilintar, gonjang-ganjing tanah tadi ternyata cuma hoax. Aku patah hati pertama kali di umur 12 tahun, di tengah gerimis, dengan air mata bercucuran, yang mungkin terlihat seperti guyuran hujan di pipiku.

Oh, romantisnya …