Tag

,

Author : Bee

Main Cast : Go Miho, Eunhyuk

Support Cast : Euncha

Rating : AAbK

Genre : Romance

url: http://wp.me/p1rQNR-6F

^^^

Malam itu malam di minggu-minggu terakhir musim gugur. Udara sudah mulai dingin. Orang-orang yang harus berada di jalanan mulai harus menambahkan lapisan-lapisan pakaian. Bagi sebagian orang, itu mungkin merepotkan, tapi bagi sebagian yang lain, masa-masa pergantian musim seperti saat itu adalah masa yang menggairahkan. Contohnya Miho.

Awal musim gugur kemarin dia baru berulang tahun yang ke-18, dan malam itu dia sedang berdiri bergerombol dengan teman-temannya di Dongdaemun. Dia dan 7 anak lain yang sebaya dengannya tampak bersenang-senang karena mereka sedang diminta menjadi model majalah untuk koleksi pakaian musim dingin. Ya, mereka adalah para Uljjang.

Proyek itu sudah berjalan selama 2 minggu, dan malam itu adalah malam terakhir proyek. Mereka semua merencakan akan menutup proyek dengan acara makan-makan di restoran yang sudah dipesan. Tapi itu masih sekitar 2 jam lagi.

Miho berdiri di pinggir menunggu gilirannya disuruh berpose. Meski agak kedinginan akibat baju yang harus dipakainya tidak sepenuhnya rapat, di matanya berbinar harapan bahwa setelah pekerjaan ini selesai, dia akan mendapatkan satu lagi referensi yang bisa memuluskan rencananya menjadi seorang idola.

Dia mendapatkan proyek itu bukan dengan tanpa usaha. Dia menghabiskan malam-malamnya di jalanan agar ‘terlihat’ oleh para pencari bakat dan ditawari menjadi model freelance untuk proyek-proyek iklan ataupun promosi. Sebelumnya Miho sudah beberapa kali bergabung dengan pemotretan lain, eksibisi pakaian, bahkan pernah sekali menjadi figuran film, walau wajahnya tidak dimunculkan. Semuanya tidak seberapa berarti, tapi Miho bersabar. Dia yakin, jika dia mengumpulkan pengalamannya di proyek-proyek kecil dan membuat nama dan wajahnya tercantum di banyak event, suatu saat nanti dia akan memperoleh kesempatan debut yang sangat didambakannya.

Kekeraskepalaannya untuk menjadi seorang idola membuat Miho mampu menghadapi omelan orang tua dan gurunya, sementara keenceran otaknya membuatnya mampu bertahan di sekolah. Dia tidak pernah bolos, meski terkenal paling sering telat karena bangun kesiangan akibat malamnya bergadang di jalanan. Tapi guru-gurunya tahu bahwa meskipun Miho sering tidak mengikuti pelajaran di jam-jam pertama, nilainya tidak pernah turun dari peringkat 5 besar. Hal ini membuat mereka tidak bisa melayangkan peringatan tegas pada Miho. Di samping itu, Miho juga termasuk anak ceria yang selalu menghidupkan suasana. Karena sifatnya yang ekstrovert dan tidak pemalu, kemarahan guru-guru padanya juga tidak pernah serius. Mereka menyukai anak itu meskipun sering gatal untuk memukulnya karena keberaniannya melawan.

Malam itu pun, Miho dengan santainya mengabaikan fakta bahwa besok ada ujian dan malah pergi pemotretan. Dia membohongi orang tuanya selama seminggu terakhir bahwa ujiannya belum diadakan, sehingga dia bisa bebas keluar untuk bekerja. Padahal sebenarnya, dia sedang menghadapi ujian kelulusan. Besok adalah hari terakhir ujian, dan dia sudah mempelajari apa yang perlu dipelajarinya tadi siang. Baginya, ujian sudah tidak perlu dipikirkan. Setelah pemotretan selesai dia tidak akan bergabung dengan yang lain dan akan langsung pulang agar besok tidak terlambat.

Saat sedang mengamati temannya berpose, seseorang menyenggol Miho yang sedang berjalan agak mundur ke belakang menghindari hembusan angin dingin. Saat itulah dia menyenggol dua orang lelaki muda yang sedang berjalan sambil membawa minuman di tangan mereka. Minuman keduanya tumpah sedikit, dan Miho segera meminta maaf. Menggunakan tissu yang selalu tersimpan di sakunya, dia membersihkan noda minuman yang tertumpah ke jaket kedua lelaki itu.

Awalnya mereka marah-marah, tapi begitu melihat Miho, amarah keduanya langsung berganti dengan ketertarikan. Mereka mendekati Miho dengan nafas berbau alkohol, lalu mulai menggodanya. Hal seperti itu sudah sering dihadapi Miho, dan jalan paling mudah menyingkirkan orang-orang seperti itu adalah dengan bersikap tegas. Maka Miho bersikap tegas menolak keduanya dan menyuruh mereka agar tidak mengganggunya lebih jauh.

Tapi rupanya kedua lelaki itu tidak mudah digertak. Mereka terus menggoda Miho, bahkan mulai berani memegang-megang rambut dan bahunya. Miho dengan cerdik mundur ke dekat kru, sehingga saat mereka melihatnya, para kru membantu Miho menghalau para pengacau itu pergi. Masalah tersebut selesai tanpa keributan berarti dan pemotretan kembali dilanjutkan.

Dua jam kemudian, pemotretan selesai dan semua orang bersiap merayakan selesainya proyek tersebut. Miho mendekati pemimpin proyek dan mengatakan bahwa dia tidak bisa bergabung karena besok harus ujian. Pemimpin proyek menyayangkan ketidaksediaan Miho untuk bergabung dalam perayaan, tapi memuji tekadnya yang tidak melupakan kewajiban sebagai murid. Dia memberikan upah Miho ditambah sedikit bonus, “Sebagai ganti makan-makan,” kata pria itu tersenyum lebar sambil menepuk kepala Miho.

Miho tersenyum senang dan berpamitan setelah meminta untuk dihubungi lagi kalau ada proyek serupa. Mereka berpisah dengan perasaan puas di hati masing-masing. Sambil menepuk-nepuk amplop upahnya, Miho berjalan menuju halte bus.

Tiba-tiba seseorang mengambil amplop uangnya dari belakang, membuat Miho langsung berbalik. Dia melihat kedua lelaki yang tadi mengganggunya sedang dengan kurang ajar menghitung isi amplopnya. Mereka bersiul dan mengatakan bahwa uang itu cukup untuk digunakan sebagai biaya laundry pakaian mereka yang ketumpahan minuman akibat ulah Miho. Miho tahu bahwa itu hanya akal-akalan keduanya, karena uang itu pasti jauh lebih besar jumlahnya dari sekedar biaya laundry. Itu upah kerjanya selama satu minggu terakhir!

Dia minta agar uang itu dikembalikan. Awalnya dengan sopan meskipun dia tahu kedua lelaki itu tidak akan menggubrisnya. Lama-kelamaan kesabaran Miho menipis dan akhirnya terjadilah pertengkaran antara dirinya dan kedua lelaki kurang ajar itu. Mereka sengaja memancing agar Miho berusaha mengambil uangnya sambil mengikuti mereka. Saat sadar, Miho sudah tidak lagi berada di tengah keramaian.

Dia berada di sebuah gang sempit yang gelap. Genangan air kotor tampak di tengah-tengah gang itu dan ujungnya tak terlihat. Miho berdiri menghadap mulut gang dimana terdapat banyak orang lalu lalang sementara kedua lelaki yang mengerjainya menghalangi jalannya. Miho meminta lagi uangnya dengan muka marah, tapi dalam hatinya dia sudah merasa tidak enak. Dia bertekad kalau kedua lelaki ini masih tidak mau menurutinya, dia akan pergi. Dia akan menuruti akal sehatnya. Uang bisa dicari, meski Miho pasti akan merasa menyesal karena harus kehilangan uang sebanyak itu.

Ternyata dari awal tujuan utama kedua lelaki itu adalah Miho. Uang gadis itu hanya bonus. Tanpa membuang waktu, keduanya segera berlaku kurang ajar dengan menyentuh-nyentuh Miho. Gadis itu berusaha meloloskan diri, tapi tidak bisa. Keduanya membayanginya dengan ketat dan terus memojokkannya. Lalu salah satu dari keduanya berhasil memegangi Miho dan menahannya di dinding sambil membekap mulutnya, sementara yang lain mulai menggerayangi kakinya.

Tubuh Miho menegang dan ketakutan sudah mulai memburamkan matanya. Dia menggeleng-geleng memohon agar jangan diapa-apakan, tapi sepertinya alkohol sudah menumpulkan nurani kedua lelaki itu. Mereka tidak menghiraukan Miho.

Sampai datanglah kesempatan itu. Saat keduanya sedang berebutan menjamahi tubuh Miho, pegangan orang yang menahan Miho melemah. Menggunakan mulutnya sekuat tenaga, Miho menggigit tangan itu, kemudian saat keduanya sedang lengah karena terkejut, Miho berusaha melarikan diri.

Sayangnya dia kurang cepat. Belum lagi beberapa langkah, rambutnya dijambak oleh salah satu dari mereka hingga Miho terjengkang ke belakang. Miho merintih kesakitan, tapi para penyerangnya tidak peduli. Mereka malah makin berlaku kasar pada Miho, marah karena gadis itu sudah berani melawan.

Posisinya saat itu tidak menguntungkan. Dia tergeletak di bawah, sementara para penyerangnya berdiri dan dengan leluasa bergerak mengelilinginya. Rasa takut Miho mengalahkan perih di kepala dan rasa ngilu di punggungnya akibat terbanting.

Mereka kemudian berjongkok dan lagi-lagi menggerayangi Miho. Ketika mereka berhasil melepaskan celana yang dikenakan gadis itu, dia menendang satu orang dari mereka dan memukul kepala yang lain dengan botol yang sempat teraih oleh tangannya. Sejenak mereka kelimpungan tapi gerakan mereka tetap lebih cepat dari Miho. Mereka menghadang Miho yang sudah hampir setengah telanjang di tengah hawa malam yang menggigit. Akhirnya Miho hanya bisa berbalik dan berlari sekencang-kencangnya ke dalam gang berharap menemukan jalan lolos di dalam kegelapan yang makin pekat.

Gang itu tidak panjang. Tidak sampai seratus meter. Sebentar saja Miho sudah menemui ujungnya. Yaitu sebuah dinding tinggi yang tak mungkin dipanjatnya. Dia menangis menyadari keterdesakannya. Nafasnya terengah-engah akibat berlari dan ketakutan. Dia terus berusaha memanjat sampai kukunya terkelupas. Tapi rasa takut menumpulkan seluruh inderanya yang lain. Rasa dingin dan sakit tidak terasa lagi. Hanya ada ketakutan mencekam.

Ketika Miho berbalik, kedua lelaki itu sudah berdiri di depannya. Mereka merasa makin bergairah melihat buruannya menguik-nguik ketakutan. Dengan sikap kurang ajar dan senyuman busuk mereka mendekati Miho perlahan-lahan, yakin bahwa mangsanya sudah tak punya jalan keluar.

Lalu dalam sekejap, mereka sudah berhasil meringkus Miho, menggagahinya dengan kasar dan menyakitkan. Mereka tidak menggubris rintihan dan permohonan Miho agar mereka berhenti. Dia dipaksa meladeni mereka sampai lama sekali. Tusukan demi tusukan dirasakan Miho di semua tempat yang mungkin dijamah oleh kedua babi bejat itu.

Semakin lama Miho semakin kehilangan kesadaran. Rasa sakit, terhina dan jijik yang melandanya perlahan menghilang, berganti dengan kedinginan yang hampa. Tubuhnya tidak lagi merespon perlakuan apapun. Dia bagaikan aksesoris terbuang di gang gelap yang kotor itu. Perlahan kesadarannya menghilang seiring dengan meredupnya bayangan keramaian di mulut gang dari matanya.

Keesokan harinya, rumah Miho dilanda kehebohan karena orang tuanya menemukan bahwa Miho tidak pulang. Mereka marah sekali pada anak itu karena sudah berani melanggar jam malam sampai tidak pulang. Mereka menunggu dan terus menunggu sampai-sampai ayah Miho membolos dari kantor untuk pertama kali dalam hidupnya.

Penantian mereka tersela oleh dering telepon. Itu adalah telepon dari sekolah Miho yang menanyakan keberadaannya. Mereka bertanya-tanya mengapa Miho tidak datang di hari terakhir ujian dan mengapa tidak ada keterangan yang menyertainya. Saat itulah kemarahan orang tuanya benar-benar meledak. Sang ayah sampai hampir menghancurkan perabotan rumah karena tahu sudah dibohongi.

Keduanya sama sekali tidak tahu bahwa pagi itu, Miho ditemukan oleh salah seorang pegawai toko yang pintu belakangnya ada di gang tempat Miho diperkosa. Tubuh gadis itu dingin dan kaku. Pegawai toko mengira Miho sudah mati sehingga langsung menghubungi polisi.

Ketika polisi meneliti tubuh Miho, mereka menemukan bahwa gadis itu masih bernafas sehingga mereka segera menelepon ambulan. Di sekeliling tubuh Miho terdapat ceceran sperma yang sudah mengering, sementara tubuh Miho sendiri hanya tertutup di bagian atasnya saja. Polisi berusaha menanyai Miho, tapi gadis itu hanya terpaku dengan mata terbuka dan seolah tidak menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya. Matanya tidak bereaksi apapun.

Sampai paramedis datang, Miho tetap diam bagai patung yang dibuat terlalu sempurna. Hanya saja kondisinya kotor dan menijikan. Paramedis mengatakan bahwa Miho dilanda shock berat dan kemungkinan terserang pneumonia karena hampir telanjang semalaman di atas genangan air. Mereka lalu segera membawa Miho ke rumah sakit.

Polisi menemukan tas Miho beberapa meter dari tempat tubuhnya ditemukan lalu segera mencatat data-data dirinya. Mereka kemudian mengikuti Miho ke RS. Di sana, paramedis memberikan perawatan yang diperlukan Miho, sementara para polisi menghubungi keluarganya.

Saat itu sudah jam makan siang. Kemarahan kedua orang tua Miho sudah berubah menjadi kekalutan. Saat menerima telepon dari polisi, ayah Miho seolah dilolosi tulang-belulangnya. Pria itu hampir terpuruk di lantai ketika polisi tersebut mengatakan bahwa Miho ada di RS. Polisi dan rumah sakit jelas bukan indikasi yang baik saat salah satu keluargamu menghilang. Apalagi orang itu adalah putrimu sendiri.

Mereka akhirnya berhasil sampai di RS. Di sana mereka menemukan Miho yang kondisinya sangat menyedihkan. Menurut perawat dan polisi yang berjaga, tidak sekejap pun Miho menutup matanya sejak ditemukan. Dia hanya terus memandang lurus ke depan tanpa arti. Mereka mengatakan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, ada dugaan kuat bahwa Miho diperkosa lebih dari satu orang.

Saat itu juga ibu Miho histeris dan langsung pingsan. Ayahnya terduduk di lantai sambil menggenggam tangan anaknya yang masih saja dingin. Para perawat segera mengurusi ibu Miho sementara sang ayah ditenangkan oleh polisi. Selama dua jam kemudian, ekspresi sang ayah hampir sama dengan ekspresi putrinya. Dia menatapi putrinya tanpa bergerak. Sesekali air matanya menetes tapi pria itu seperti tidak menyadarinya. Ibu Miho yang dibaringkan di sebelah Miho beberapa kali jatuh pingsan lagi meski makin lama frekuensinya makin jarang. Sementara Miho, tetap tak menunjukkan reaksi apapun.

Akhirnya setelah menunggu lebih dari empat jam, ayah Miho menjadi yang pertama bisa dimintai keterangan. Pria itu menjawab semua pertanyaan polisi dengan lemah dan seperti mengawang. Akhirnya dia minta diijinkan menelepon saudaranya, ayah Euncha.

Dari situ proses penyelidikan berjalan lebih lancar. Ayah Euncha ikut terpukul tapi jauh lebih bisa menguasai diri sehingga bisa membantu ayah Miho melengkapi berkas-berkas penyelidikan. Dia juga meminta pada polisi agar segera dilakukan investigasi untuk mengejar pelaku yang membuat keponakannya berada dalam kondisi menyedihkan seperti itu.

Selama beberapa hari Miho dirawat di rumah sakit. Kondisinya tidak berubah. Diam seperti mayat hidup. Dia makan, minum, ke kamar mandi, tapi hanya jika ada yang menuntunnya melakukan itu semua. Dokter mengatakan bahwa secara fisik Miho sudah baik-baik saja, tapi kondisi psikologisnya sepertinya terpukul sangat parah. Orang tua Miho tak pernah berhenti menangis dan berdoa setiap malam. Berdoa agar anaknya diberi kekuatan, agar mereka juga diberi kekuatan.

Itu adalah cobaan tersulit bagi keluarga Miho.

^^^

“Ya Tuhan…” Eunhyuk menutup mulutnya. Penuturan Euncha jauh lebih menyakitkan dari tonjokan Miho.

Di sebelahnya Euncha mengusap air mata yang menetes. “Aku masih terlalu kecil waktu itu untuk mengerti seperti apa sakitnya diperkosa. Tapi bahkan saat itu aku…” dia menelan ludah, “…aku ikut merasa terpukul melihat kondisi Eonnie yang sangat menyedihkan.”

“Setelah dua minggu di RS, akhirnya eonnie diperbolehkan pulang, tapi dokter sangat menyarankan agar Eonnie dibawa ke psikolog. Mereka khawatir dengan sikap eonnie yang seperti terputus dari dunia luar. Saat itu aku menganggap Eonnie sebenarnya sudah gila, cuman gilanya itu diam, ga teriak-teriak seperti orang sakit jiwa lain.

“Lama-kelamaan aku tahu bahwa Eonnie ga gila. Dia depresi,” Euncha berhenti sebentar untuk mengusap keningnya.

“Perkosaan itu memang berat, tapi proses penyembuhan Eonnie lebih berat. Saat terbangun, dia cuman bisa diam, termenung, terpaku, tapi ketika tidur, hampir setiap malam Eonnie seperti mengamuk di tempat tidurnya. Pertama kali kami tahu itu adalah ketika pada suatu dini hari, Imo menemukan Eonnie tergeletak di lantai. Dia mengira Eonnie mencoba melakukan sesuatu, seperti…” Euncha menelan ludahnya dengan susah payah. “… seperti… percobaan bunuh diri,” lanjutnya lemah.

“Lalu Imo mengembalikan Eonnie ke tempat tidurnya dan mendampinginya di sana sampai matahari muncul. Saat itulah Imo tahu bahwa Eonnie terus meronta-ronta selama tidur. Tubuhnya bergetar keras, bergerak gelisah ke sana-kemari, air matanya terus mengalir dari matanya yang tertutup. Tapi tak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya.

“Mulut Eonnie seolah terkunci sejak kejadian itu. Tak pernah sekalipun kami mendengar erangannya, apalagi teriakannya. Dia hanya diam…” suara Euncha bergetar, “…seolah menahannya seorang diri. Dia tidak mengenali kami, dia mengabaikan kami yang setiap hari membujuknya agar keluar dari cangkang isolasinya. Kami tidak dianggap ada olehnya. Dan itu berlangsung selama berbulan-bulan.”

Eunhyuk menatap bahu Euncha yang kini mulai bergetar mengikuti suaranya. Bermaksud menenangkan gadis itu, dia mengulurkan tangan merangkul bahunya. Awalnya Euncha membiarkannya tapi lalu melepaskan rangkulan Eunhyuk dan menegakkan tubuh. Matanya menatap ke depan lurus-lurus. Tidak memperhatikan Eunhyuk yang masih menatapnya, Euncha melanjutkan, “Kami sudah melakukan semuanya. Membawa dia ke psikiater, mengajaknya bersenang-senang, tapi Eonnie seolah tidak tahu itu. Hanya tubuhnya yang bersama kami. Selama berbulan-bulan—hampir 2 tahun—kami seperti merawat jasad tanpa jiwa. Aku tak bisa membuatnya tertawa atau marah seperti yang selalu kulakukan. Dia hanya diam termangu di sana. Aku merasa…” suara Euncha pecah, “…seperti kakakku sudah meninggal.”

Dengan cepat gadis itu mengusap air matanya. “Imo do, We-samchon do, mereka kehilangan berat badan karena terus mengkhawatirkan anak mereka. Eonnie adalah putri mereka satu-satunya. Dan kondisi putri mereka sangat menyedihkan. Suatu ketika pernah—, Oh tidak!” Euncha tiba-tiba menyurukkan wajahnya ke dalam telapak tangan. Tangisnya mengeras.

Selama beberapa saat Eunhyuk hanya menunggu, membiarkan Euncha menghabiskan ledakan emosi yang tiba-tiba datang. Ketika akhirnya tangis Euncha mereda dan yang tertinggal hanya sesenggukan, Eunhyuk mendengarnya bicara lagi, “We-samchon pernah hampir hilang akal. Dia sangat bingung dan terpukul, cemas akan apa yang bisa terjadi pada putrinya kalau sampai waktunya dia dan Imo dipanggil Tuhan, Eonnie belum sembuh juga. Dia… dia… melakukan sesuatu,” tangan Euncha bergerak-gerak panik.

Dia tidak menatap Eunhyuk dan melanjutkan, “Dia… bermaksud membunuh Eonnie dan Imo sekaligus dirinya sendiri dengan membuat mereka bertiga keracunan gas di dalam rumah.”

Eunhyuk terlonjak. Dia bangun dari duduknya. Kedua tangannya bertaut di depan mulutnya. Rasa muak, sedih, marah dan kacau mengaduk-aduk benaknya. Matanya menjadi kabur karena air mata yang tiba-tiba muncul entah karena alasan apa.

Di belakangnya Euncha bicara lagi, “Kalau waktu itu aku tidak datang, aku rasa Eonnie tidak akan ada di sini sekarang. Oppa, ini sangat menyakitkan… hiks…” tangis Euncha pecah lagi.

Eunhyuk menoleh. Air matanya hampir jatuh, tapi melihat Euncha yang terpuruk, dia tidak tega. Dengan pelan diraihnya Euncha dalam pelukan. “Sssst, ya, aku tahu ini sangat menyakitkan. Aku tahu,” ujarnya menenangkan dengan suara bergetar. Dari atas kepala Euncha, dia menatap Miho yang masih terpejam di dalam mobil Euncha. Akhirnya air matanya jatuh karena hatinya sangat sakit membayangkan seandainya Miho tidak ada lagi saat ini. Sebagai ganti memeluk Miho, dia memeluk Euncha dengan erat. Keduanya saling melepaskan perasaan masing-masing.

Setelah keduanya perlahan menjadi tenang, Euncha melepaskan pelukannya dari Eunhyuk dengan canggung. “Mian, Oppa…”

Eunhyuk menjauh dari Euncha dan memberi jarak di antara mereka. “Ga papa,” jawabnya singkat. Dia lalu bertanya, “Lalu apa yang terjadi? Apa Miho dan Eommonim mengalami hal buruk akibat…” Eunhyuk bingung bagaimana melontarkan pertanyaannya. “…akibat perbuatan Abonim?” akhirnya dia mampu juga menyelesaikan kalimatnya.

Euncha mengelap lendir yang sedikit keluar dari hidungnya. “Mereka bertiga baik-baik saja, meski dibutuhkan waktu agak lama untuk pulih. Apalagi Eonnie harus kehilangan…” ucapannya terhenti. Dia menatap Eunhyuk takut-takut.

“Apa?” Eunhyuk bertanya bingung.

“Janinnya,” jawab Euncha lirih, tapi terdengar bagai petir di telinga Eunhyuk. Mata pria itu membelalak kaget. Tangannya terangkat menunjuk-nunjuk Miho di dalam mobil. Tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutnya, tapi sikap tubuhnya menunjukkan seolah bertanya.

Euncha mengangguk. “Sampai sekarang Eonnie ga pernah sadar kalau dia sempat hamil karena saat itu dia ga pernah lepas dari depresinya, dan kami juga ga ingin dia tahu. Sudah cukup segala keterpurukan yang dirasakannya. Mengetahui bahwa dirinya hamil sekaligus kehilangan janin ga akan membuatnya lebih baik, jadi kami semua mengunci fakta itu rapat-rapat. Toh waktu janin itu menghilang, dia masih berupa gumpalan darah yang belum bernyawa.” Kalau ada hal paling Euncha syukuri dari semua kejadian yang menimpa kakaknya, itu adalah peristiwa keguguran yang dialami Miho. Jujur saja dia tidak yakin mereka akan bisa menerima anak dari lelaki bejat entah siapa yang mengurangajari kakaknya.

Eunhyuk berbalik memunggungi Euncha. Tangannya meremas rambutnya kuat-kuat. Ya Tuhan, kenapa Kau kejam sekali pada Miho? Mengapa Kau memberinya cobaan serupa itu? Kenapa? Pikirnya mulai merasakan tidak terima. Sama sekali tidak disangkanya masa lalu Miho begitu kelam. Selama ini yang dia tahu, Miho begitu bersinar. Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa wanita itu pernah dinodai dengan begitu kejam. Perasaannya naik mengganjal di tenggorokan. Dia ingin berteriak merasakan frustasi karena membayangkan penderitaan Miho ketika itu, tapi yang dilakukannya hanya menggigit kepalan tangan.

Euncha memandangi sosok Eunhyuk yang tampak frustasi. Ada sesuatu pada pria itu yang membuatnya ingin agar Eunhyuk tidak menjauh dari mereka. Dari Miho terutama. Selama ini Miho sering bercerita padanya bagaimana Eunhyuk menggantikan tempatnya. Menemaninya, berbagi cerita dan aktivitas bersama, hal-hal yang dipikir Euncha tidak mungkin dilakukan Miho dengan seorang pria asing. Awalnya Euncha sempat cemburu dan sakit hati karena ternyata Miho tidak terlalu terganggu dengan ketidakadaannya. Tapi setelah beberapa kali melihat cara Eunhyuk memperlakukan Miho, Euncha justru merasa lega. Seolah dia melihat putrinya sendiri sudah bertemu dengan orang yang tepat yang akan menjaganya dengan baik.

“Oppa,” panggilnya pada Eunhyuk. “Oppa ga perlu khawatir karena Eonnie sudah bisa dibilang hampir sembuh total. Dia sudah bertahun-tahun berkonsultasi dengan psikiater, jadi sekarang ini kondisinya jauh lebih baik. Yah, memang kadang ada situasi yang masih ga bisa diterimanya, seperti yang Oppa tahu, tapi di luar itu, Eonnie sudah bisa hidup lagi. Sudah lebih kuat.” Dia harus mengatakannya karena tidak ingin Eunhyuk menjauh karena merasa Miho merepotkan.

Eunhyuk menoleh. Lebih kuat? Bagian mananya? Sekarang begitu mengetahui alasan di balik semua sikap histeris Miho, Eunhyuk justru melihat wanita itu semakin lemah. Dia semakin ingin melindunginya. Apa Euncha bermaksud melarangnya menemui Miho karena sekarang dia sudah mengetahui semuanya?

Bibir Euncha tampak bergetar. “Bertahun-tahun, teman Eonnie hanya aku dan Jihoon Oppa. Dia tidak pernah sedekat itu dengan orang lain. Dia ramah dan bersahabat, tapi selalu menetapkan batas. Makanya begitu aku tahu dia bisa dekat dengan Oppa, aku senang. Akhirnya dia berani keluar selangkah lagi dari sekatnya. Tolong jangan jauhi dia, Oppa… Aku rasa Eonnie membutuhkanmu…”

Eunhyuk ternganga begitu mengetahui maksud perkataan Euncha. Dia mendekati gadis itu lalu menyentuh tangannya. “Aku ga akan kemana-mana. Aku…” dia menatap Euncha ragu. “Euncha, aku… kamu boleh anggap aku gila atau hilang akal atau apapun, tapi aku, aku ga bisa meninggalkan Miho.”

Euncha mengangkat wajahnya. Rautnya bertanya.

Eunhyuk menggeleng-geleng. Apa yang dikatakannya tadi? Tidak bisa meninggalkan Miho? Ya, itu benar. Dia tidak tahu kenapa, tapi apapun yang terjadi dia akan selalu tertarik kembali pada Miho. Seperti ada yang selalu mendorongnya mengecek kondisi wanita itu. Memperhatikannya. Mengetahui keberadaannya. “Pokoknya aku ga bisa meninggalkan Miho,” tegasnya pada Euncha.

Euncha tersenyum. “Terima kasih, Oppa. Kau baik sekali…”

Eunhyuk tersenyum canggung. Benarkah dia baik? Entahlah. Dia hanya tahu dia egois. Dia tidak mau menjauh dari Miho, entah orang suka atau tidak.

Mereka lalu duduk bersebelahan lagi. Euncha bercerita lagi tentang masa-masa pemulihan Miho. Kurang lebih dua tahun setelah kejadian perkosaannya, ibu Miho jatuh sakit karena kelelahan merawat Miho dan usahanya membangkitkan semangat suaminya. Sakitnya cukup parah, dan sejak saat itu, Miho mulai terlihat memberikan tanda-tanda kehidupan yang lebih jelas. Dia mulai mencari-cari sang ibu yang biasa ada di dekatnya ketika wanita itu harus dirawat di rumah sakit. Selama satu minggu Miho tidak bisa tenang meskipun ditemani Euncha. Begitu ibu Miho pulang dari RS, Euncha melihat untuk pertama kali sejak peristiwa yang menimpanya, Miho meneteskan air mata saat tidak sedang tidur. Hari itu, dia memeluk ibunya erat sekali dan tidak mau pergi sebentar pun dari sisinya.

Eunhyuk tersenyum, “Cinta ibu adalah obat,” gumamnya pelan.

Euncha membalas, “Imo adalah wanita terkuat yang pernah aku tahu.”

Eunhyuk akhirnya mengetahui bahwa Miho membutuhkan waktu satu tahun untuk bisa kembali bertingkah seperti orang normal. Selama setahun itu kadang-kadang depresinya akan muncul, lalu diikuti oleh kemarahan. Ketika kemarahannya datang Miho akan dengan serta-merta menghambur keluar, pergi ke arah Dongdaemun dan mengubek-ubek area itu untuk mencari dua penyiksanya. Tentu saja dia tidak pernah menemukannya karena mereka sudah berada di penjara. Tapi Miho seperti tidak mengetahui hal itu meskipun sudah berkali-kali diberi tahu.

Setelah perawatan intensif itu, psikiaternya menyatakan bahwa Miho bisa berinteraksi secara normal lagi di dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan catatan, tanpa pemicu stres sama sekali. Orang tuanya kemudian mengarahkan Miho untuk mengikuti ujian penyetaraan agar bisa berkuliah. Dan sejak saat itu kehidupannya adalah kehidupan kampus yang tenang.

Euncha mengeluarkan dompetnya. Diperlihatkannya selembar foto penuh tanda tangan anggota Shinee pada Eunhyuk. “Ini, adalah ketika Eonnie dinyatakan lulus ujian masuk universitas. Kami merayakannya hanya dengan piknik di taman, tapi itu pertama kalinya Eonnie bisa terlihat bahagia lagi setelah sekian tahun terpuruk,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

“Satu hal, Oppa,” dia menerima foto itu kembali dari tangan Eunhyuk. “Kalau depresinya datang, Eonnie akan mengejang seperti zombie. Aku yakin Oppa udah tahu itu kan? Tapi tadi, itu pertama kalinya aku mendengar Eonnie histeris. Bahkan sampai menyerang segala. Dan di atas semua itu, Eonnie menyebut-nyebut namamu. Dia teringat padamu dalam kekalutannya. Itu sesuatu yang baru, Oppa. Aku ga pernah melihatnya begitu. Aku hanya berharap itu adalah tanda yang baik karena akhirnya Eonnie bisa mengekspresikan perasaannya dan bukan hanya diam.”

Setelah menyimpan dompetnya lagi, Euncha menatap mata Eunhyuk. Pandangannya memohon, “Jadi maukah Oppa berjanji menjaga Eonnie? Tolonglah, Oppa. Aku mungkin ga bisa selamanya bersama Eonnie, maka aku ingin dia memiliki orang lain yang bisa dijadikannya teman. Aku tahu aku egois, dan mungkin kau berpikir aku lancang karena berani-beraninya meminta hal seperti itu pada orang yang belum lama kami kenal. Tapi tidak ada orang lain yang bisa sedekat dirimu pada Eonnie dalam waktu sesingkat ini.”

Eunhyuk sudah tahu jawabannya bahkan sebelum Euncha bertanya. Dia memang tidak berniat menjauhi Miho sama sekali. Jadi dia mengangguk.

Euncha begitu gembira hingga langsung memeluk cowok itu erat-erat. “Terima kasih, Oppa. Terima kasih. Terima kasih…” ucapnya berulang-ulang. Eunhyuk pun membelai kepalanya dengan sayang.

^^^

Miho berlari. Nafasnya terengah-engah. Pengejarnya makin mendekat, tapi Miho masih bisa berlari. Selama kakinya masih bisa digerakkan, dia tidak akan berhenti. Kedua orang itu boleh saja terus mengejarnya, tapi kali ini Miho akan terus berlari. Dia tidak akan tertangkap. Biar saja nafasnya habis, dia tidak akan berhenti.

Lalu kakinya tersandung. Dia tersungkur di lantai kotor jelek. Kedua pengejarnya berhasil mencapai tempatnya. Tangan mereka mulai merabai kakinya. Seperti waktu itu, mereka berhasil menangkapnya lagi. Miho begitu putus asa. Mengapa dia selalu bisa tertangkap? Mengapa dia selalu harus mengalami penderitaan yang sama? Dia sudah lelah ketakutan, tapi nyatanya ketakutan itu tidak pernah habis. Selalu mendatanginya lagi dan lagi.

Kenapa dia tidak mampu berteriak? Mengapa mulutnya terasa disekap? Padahal kedua orang itu sama sekali tidak menyentuh wajahnya. Miho bisa merasakan tangan mereka mulai naik dan melucuti celananya. Miho tidak mau peristiwa itu terulang lagi. Siapa saja, tolong. Tolonglah aku, jeritnya dalam hati.

Dia menoleh ke arah mulut gang dimana bisa dilihatnya banyak orang berlalu lalang. Perlahan dan samar, terbentuklah bayangan seseorang yang dikenalnya di sana. Cowok itu. Dia sudah sering melihatnya. Dia nyengir konyol ke arahnya. Gusinya nampak jelas ketika dia tertawa. Brengsek. Miho sedang ketakutan, dan dia malah tertawa? Sialan kau Eunhyuk!

Dengan marah dilihatnya kedua penyerangnya dan entah mendapat kekuatan dari mana, Miho mulai meronta, menendangi keduanya. Akhirnya dia berhasil lepas dan berlari. Berlari ke arah Eunhyuk yang masih tertawa-tawa bodoh. Dasar bodoh. Bodoh!

Miho berhasil mencapai Eunhyuk dan begitu tangannya bersentuhan dengan tangan pria itu, segala ketakutannya lenyap seketika. Energinya berubah menjadi amarah. Dengan kekesalan memuncak dia mulai menendangi Eunhyuk. Dia tidak tahu mengapa dia melakukannya, hanya saja saat itu yang ada adalah Eunhyuk, dan dia sudah terlalu lama menyimpan amarahnya. Dia ingin membalas menyakiti penyerangnya, tapi hanya Eunhyuk yang ada.

Miho melihat Eunhyuk merintih kesakitan. Tiba-tiba saja dia sudah sedang menyiksa Eunhyuk di dalam mobil. Pria itu berteriak-teriak menyuruhnya berhenti, tapi dia tidak bisa. Dia harus memukul sesuatu. Seseorang. Dengan kemarahan yang masih menggelegak dia meninju perut Eunhyuk lalu melihat pria itu terdiam.

Mata Eunhyuk terpejam. Senyumnya menghilang. Lalu Miho ketakutan lagi. Apa yang sudah dilakukannya pada Eunhyuk? Mengapa dia menyakiti Eunhyuk? Mengapa Eunhyuk tidak membuka matanya? Dia mulai memanggil-manggil Eunhyuk, tapi pria itu tidak bergerak. Tangisnya semakin keras. Dan akhirnya kesedihannya pecah. Kenapa dia menyerang Eunhyuk? Kenapa?

Miho menutup matanya dengan tangan dan meneruskan menangis di sana. Setelah beberapa lama dia membuka tangan dan matanya.

Dia mendapati dashboard mobil yang sudah dikenalnya. Mulutnya masih terisak. Matanya masih mengalirkan air mata. Tapi dimana Eunhyuk? Apakah cowok itu baik-baik saja? Miho sadar barusan dia hanya bermimpi, tapi dia juga ingat dia benar-benar memukul cowok itu tadi. Dimana Eunhyuk?

Miho memutar kepalanya berusaha mencari Eunhyuk ketika melihat pemandangan itu.

Di sana Miho melihat Eunhyuk. Sedang memeluk Euncha. Miho melihat cowok itu menempelkan pipinya di kepala Euncha dan meremas pundaknya dengan lembut.

Eunhyuk dan Euncha, pikirnya. Dua orang yang disayanginya. Dua orang yang berarti baginya. Mereka terlihat bahagia bersama. Miho merasa memasang senyum, tapi sebenarnya wajahnya menjadi polos. Matanya tak berekspresi, mulutnya tak bergerak, nafasnya pelan hampir tak terdengar.

Eunhyuk dan Euncha.

Hatinya membeku.

-cut-